Kamis, 28 Februari 2013

Manifesto Politik GERNAS

MANIFESTO POLITIK

GERAKAN NASIONAL
MENEGAKKAN KEDAULATAN RAKYAT
DAN KEADILAN SOSIAL


Kehidupan Indonesia sebagai negara bangsa semakin menyimpang dari cita-cita Proklamasi Kemerdekaan yang dicetuskan 67 tahun lalu, sebagaimana yang tercantum dalam Pancasila,  Pembukaan dan Isi serta semangat Undang Undang Dasar 1945. Penyimpangan itu jika tidak segera dihentikan akan membawa Indonesia menjadi negara gagal. Bahkan, sejak era Orde Baru (Soeharto) sampai pemerintahan SBY saat ini, Indonesia terbelenggu dalam sistim kapitalisme global yang eksploitatif yang mengutamakan peningkatan produk domestik bruto (PDB) sebagai mahkota dengan mengorbankan: martabat manusia, sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Budaya pentingnya harga diri manusia, biar melarat asal tidak mencuri (mlarat, ning ningrat), telah sirna; dan kini telah diganti dengan budaya yang penting kaya walaupun harus mencuri ataupun korupsi.
Kehidupan demokrasi dijalankan tanpa roh demokrasi, sehingga demokrasi Indonesia pantas disebut demokrasi kriminal. Karena “hukum” dan “penegak hukum” yang ada lebih tunduk kepada kemauan penguasa daripada digunakan untuk mengatur kekuasaan pemerintahan. Dalam hal ini, sistem demokrasi beralih kepada sistem oligarki dengan ciri-ciri: Pertama, peran wakil rakyat cenderung menjadi wakil partai politik dan mewakili dirinya sendiri; kedua, pemilik modal baik asing ataupun domestik mengendalikan kehidupan demokrasi; ketiga, Ketua Umum partai politik dan Ketua Dewan Pembina berperan otoriter; dan keempat, mayoritas partai politik membentuk kartel-oligarkis untuk mendominasi parlemen.
Sebab itu, negara (penyelenggara negara) seringkali menjadi alat untuk memenuhi kepentingan elit partai, para oligarkis, dan para pemilik modal. Sistim demokrasi kriminal bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi para pemilik modal, untuk mengakumulasikan modal, mendapatkan peluang, dan memperluas pasar mereka. Sistem ini menempatkan para pemilik modal dan orang-orang berduit (plutocrat) mengendalikan arah pembangunan nasional, sehingga Indonesia menjadi surga bagi para pemilik modal. Sebaliknya orientasi kebijakan negara pun cenderung anti-rakyat serta menindas kaum buruh, petani dan rakyat kecil pada umumnya.
Asas kedaulatan berada di tangan rakyat sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (2) UUD’45 telah dikhianati. Negara tidak lagi diselenggarakan berdasarkan mandat dari rakyat, melainkan oleh kekuasaan kartel partai politik ataupun para oligarki partai politik. Prinsip pengawasan dari rakyat sebagai cara untuk mencegah etatisme/kekuasaan mutlak dalam penyelenggaraan kekuasaan negara tidak terwujud. Antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif terjadi pengintegrasian atau hubungan yang kolutif. Keadaan ini telah mempercepat transformasi sistemik dan masif dari Indonesia sebagai negara hukum menjadi negara kekuasaan yang diwarnai oleh penyalah-gunaan kekuasaan (abuse of power) dan korupsi di semua bidang.
Hak-hak rakyat sebagai warga-negara tidak lagi dimaknai dan diakui sebagai sumber kekuasaan dan pemberi mandat kepada penyelenggara kekuasaan negara. Sebaliknya, rakyat digiring untuk ikut sistem pemilihan (umum) yang manipulatif. Hak rakyat dalam mengontrol partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah dikebiri. Anggota dan lembaga DPR hanya bertanggung-jawab kepada partai politik dan bukan kepada rakyat yang memilihnya. Ketua umum partai politik memiliki hak mutlak dalam mengontrol dan me-recall anggota DPR, sehingga menggugurkan esensi dari hak pilih rakyat dalam pemilu.
Perekonomian nasional makin tunduk kepada prinsip-prinsip kapitalisme global dan mengabaikan prinsip demokrasi ekonomi dan prinsip ekonomi yang diamanatkan oleh konstitusi. Arah pembangunan nasional yang mengutamakan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) telah mengorbankan pemerataan pendapatan bagi rakyat banyak. Hal ini tentu bertentangan dengan asas “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” seperti diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD’45.
Kekuasaan yang plutokratik yang menempatkan uang dan modal di atas segalanya menciptakan perburuan rente (rent-seeking) dan kebijakan menguras (ekstraktif) sumber daya alam tanpa mempedulikan kepentingan masa depan dan lingkungan. Kebijakan penyelenggara negara telah membuka ruang sebesar-besarnya bagi kepentingan para pemilik modal untuk menguasai dan mengeksploitasi bumi, air, udara, dan kekayaan alam, dengan sengaja menggilas amanat Pasal 33 ayat (3) UUD’45 yang menegaskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Rejim devisa bebas dan tidak adanya pengawasan penanaman modal Indonesia di luar negeri, merupakan kebijakan yang sangat berbahaya bagi perekonomian nasional. Sejak Rejim Soeharto sampai dengan saat ini, penyelenggara kekuasaan negara tidak mengetahui berapa besar penanaman modal Indonesia di luar negeri. Yang diketahui hanyalah penanaman modal asing di Indonesia.
Persoalan bangsa dan negara yang begitu komplek yang telah menciptakan krisis nasional dan kerusakan sistemik tersebut tidak bisa dibiarkan dan harus segera diakhiri secepatnya. Hal itu hanya mungkin diatasi melalui jalan revolusioner dengan menciptakan suatu periode transisi demokrasi. Dalam periode transisi harus dilakukan proses transformasi untuk menata-ulang Republik Indonesia dengan memfokuskan perubahan fundamental terhadap sistem, rezim, kultur, dan struktur masyarakat yang tidak adil sebelumnya.
Bertolak dari kondisi kehidupan bangsa dan negara seperti itu; hendaknya semua komponen bangsa dan masyarakat termasuk penyelenggara Negara dan kekuasaan pemerintahan melakukan upaya penyelematan melalui suatu masa transisi. Untuk itu perlu diambil langkah bersama-sama agar Presiden dan Wakil Presiden mengundurkan diri dari jabatannya guna merintis jalan bagi tahapan selanjutnya, yakni:
  1. Membentuk Pemerintah Transisi dengan masa kerja sekurang-kurangnya dua (2) tahun. Pemerintahan Transisi bertugas: Pertama, membuat Undang Undang Pemilihan Umum yang demokratis serta menyelenggarakan Pemilihan Umum sesuai dengan Undang-Undang Dasar ‘45 guna membuka ruang untuk perubahan dengan kemudahan pendirian partai politik. Kedua, membuat Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memberi harapan perubahan, sehingga setiap partai politik ataupun gabungan partai politik berhak mengajukan calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Hal itu untuk mencegah politik uang dan politik dagang sapi dalam menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden seperti diamanatkan oleh Pasal 6 A ayat (2) UUD 45.
  2. Membentuk Komisi Pengawas Pemerintah Transisi yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang mewakili semua golongan dan daerah.
  3. Memperkuat peran Negara dalam menguasai sumberdaya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan cara melakukan pengambilalihan usaha pertambangan, perkebunan, dan hutan tanaman industri milik asing dan menata-ulang pengusahaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh swasta nasional. Di samping itu juga perlu dilakukan pengaturan lalu-lintas devisa dan pengaturan atas penempatan modal Indonesia di luar negeri.
  4. Menjalankan amanat konstitusi secara konsekuen dalam memberikan jaminan atas kebutuhan dasar warga-negara untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak [Pasal 27 ayat (2) UUD’45], untuk mendapat pelayanan kesehatan [Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD’45], dan untuk mendapat pendidikan termasuk pendidikan tinggi [Pasal 28 C ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD’45], serta hak warga negara untuk mendapatkan hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat [Pasal 28 H ayat (1) UUD 45].
  5. Membuat Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menempatkan Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai lembaga permanen dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menyediakan anggaran yang cukup untuk secara sistemik melakukan pemberantasan korupsi.
  6. Membentuk Badan Persiapan sebagai wadah mewujudkan transisi demokrasi untuk menegakkan kedaulatan rakyat secara damai yang dilaksanakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Menunda dan menunggu bukan pilihan dan solusi, bahkan akan menyebabkan Indonesia menjadi negara yang gagal. 

Untuk menindak-lanjuti manifesto politik ini, kami membentuk Gerakan Nasional Menegakkan Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial yang disingkat dengan GERNAS (Gerakan Nasional).



Jakarta, 12 Februari 2013

Penggagas,

Chris Siner Key Timu
Yusuf AR
Awad Bahasoan 
Judilherry Justam
Sukmadji Indro Tjahjono
Sismulyanda Barnas
Djamester Simarmata