MANIFESTO POLITIK
GERAKAN NASIONAL
MENEGAKKAN KEDAULATAN RAKYAT
DAN KEADILAN SOSIAL
Kehidupan
Indonesia sebagai negara bangsa semakin menyimpang dari cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan yang dicetuskan 67 tahun lalu, sebagaimana yang tercantum dalam
Pancasila, Pembukaan dan Isi serta
semangat Undang Undang Dasar 1945. Penyimpangan itu jika tidak segera
dihentikan akan membawa Indonesia menjadi negara gagal. Bahkan, sejak era Orde
Baru (Soeharto) sampai pemerintahan SBY saat ini, Indonesia terbelenggu dalam
sistim kapitalisme global yang eksploitatif yang mengutamakan peningkatan
produk domestik bruto (PDB) sebagai mahkota dengan mengorbankan: martabat
manusia, sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Budaya pentingnya harga diri
manusia, biar melarat asal tidak mencuri (mlarat,
ning ningrat), telah sirna; dan kini telah diganti dengan budaya yang
penting kaya walaupun harus mencuri ataupun korupsi.
Kehidupan
demokrasi dijalankan tanpa roh demokrasi, sehingga demokrasi Indonesia pantas
disebut demokrasi kriminal. Karena “hukum” dan “penegak hukum” yang ada lebih
tunduk kepada kemauan penguasa daripada digunakan untuk mengatur kekuasaan
pemerintahan. Dalam hal ini, sistem demokrasi beralih kepada sistem oligarki
dengan ciri-ciri: Pertama, peran wakil rakyat cenderung menjadi wakil partai
politik dan mewakili dirinya sendiri; kedua, pemilik modal baik asing ataupun
domestik mengendalikan kehidupan demokrasi; ketiga, Ketua Umum partai politik
dan Ketua Dewan Pembina berperan otoriter; dan keempat, mayoritas partai politik
membentuk kartel-oligarkis untuk mendominasi parlemen.
Sebab itu,
negara (penyelenggara negara) seringkali menjadi alat untuk memenuhi
kepentingan elit partai, para oligarkis, dan para pemilik modal. Sistim
demokrasi kriminal bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi para pemilik
modal, untuk mengakumulasikan modal, mendapatkan peluang, dan memperluas pasar
mereka. Sistem ini menempatkan para pemilik modal dan orang-orang berduit (plutocrat) mengendalikan arah
pembangunan nasional, sehingga Indonesia menjadi surga bagi para pemilik modal.
Sebaliknya orientasi kebijakan negara pun cenderung anti-rakyat serta menindas
kaum buruh, petani dan rakyat kecil pada umumnya.
Asas
kedaulatan berada di tangan rakyat sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (2) UUD’45
telah dikhianati. Negara tidak lagi diselenggarakan berdasarkan mandat dari
rakyat, melainkan oleh kekuasaan kartel partai politik ataupun para oligarki
partai politik. Prinsip pengawasan dari rakyat sebagai cara untuk mencegah
etatisme/kekuasaan mutlak dalam penyelenggaraan kekuasaan negara tidak
terwujud. Antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif terjadi
pengintegrasian atau hubungan yang kolutif. Keadaan ini telah mempercepat
transformasi sistemik dan masif dari Indonesia sebagai negara hukum menjadi
negara kekuasaan yang diwarnai oleh penyalah-gunaan kekuasaan (abuse of power) dan korupsi di semua
bidang.
Hak-hak
rakyat sebagai warga-negara tidak lagi dimaknai dan diakui sebagai sumber
kekuasaan dan pemberi mandat kepada penyelenggara kekuasaan negara. Sebaliknya,
rakyat digiring untuk ikut sistem pemilihan (umum) yang manipulatif. Hak rakyat
dalam mengontrol partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah
dikebiri. Anggota dan lembaga DPR hanya bertanggung-jawab kepada partai politik
dan bukan kepada rakyat yang memilihnya. Ketua umum partai politik memiliki hak
mutlak dalam mengontrol dan me-recall anggota
DPR, sehingga menggugurkan esensi dari hak pilih rakyat dalam pemilu.
Perekonomian
nasional makin tunduk kepada prinsip-prinsip kapitalisme global dan mengabaikan
prinsip demokrasi ekonomi dan prinsip ekonomi yang diamanatkan oleh konstitusi.
Arah pembangunan nasional yang mengutamakan peningkatan Produk Domestik Bruto
(PDB) telah mengorbankan pemerataan pendapatan bagi rakyat banyak. Hal ini
tentu bertentangan dengan asas “perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” seperti
diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD’45.
Kekuasaan yang plutokratik yang
menempatkan uang dan modal di atas segalanya menciptakan perburuan rente (rent-seeking) dan kebijakan menguras
(ekstraktif) sumber daya alam tanpa mempedulikan kepentingan masa depan dan
lingkungan. Kebijakan penyelenggara negara telah membuka ruang sebesar-besarnya
bagi kepentingan para pemilik modal untuk menguasai dan mengeksploitasi bumi,
air, udara, dan kekayaan alam, dengan sengaja menggilas amanat Pasal 33 ayat
(3) UUD’45 yang menegaskan bahwa “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Rejim
devisa bebas dan tidak adanya pengawasan penanaman modal Indonesia di luar
negeri, merupakan kebijakan yang sangat berbahaya bagi perekonomian nasional.
Sejak Rejim Soeharto sampai dengan saat ini, penyelenggara kekuasaan negara
tidak mengetahui berapa besar penanaman modal Indonesia di luar negeri. Yang
diketahui hanyalah penanaman modal asing di Indonesia.
Persoalan
bangsa dan negara yang begitu komplek yang telah menciptakan krisis nasional
dan kerusakan sistemik tersebut tidak bisa dibiarkan dan harus segera diakhiri
secepatnya. Hal itu hanya mungkin diatasi melalui jalan revolusioner dengan
menciptakan suatu periode transisi demokrasi. Dalam periode transisi harus
dilakukan proses transformasi untuk menata-ulang Republik Indonesia dengan
memfokuskan perubahan fundamental terhadap sistem, rezim, kultur, dan struktur
masyarakat yang tidak adil sebelumnya.
Bertolak
dari kondisi kehidupan bangsa dan negara seperti itu; hendaknya semua komponen
bangsa dan masyarakat termasuk penyelenggara Negara dan kekuasaan pemerintahan
melakukan upaya penyelematan melalui suatu masa transisi. Untuk itu perlu
diambil langkah bersama-sama agar Presiden dan Wakil Presiden mengundurkan diri
dari jabatannya guna merintis jalan bagi tahapan selanjutnya, yakni:
- Membentuk Pemerintah Transisi dengan masa kerja sekurang-kurangnya dua (2) tahun. Pemerintahan Transisi bertugas: Pertama, membuat Undang Undang Pemilihan Umum yang demokratis serta menyelenggarakan Pemilihan Umum sesuai dengan Undang-Undang Dasar ‘45 guna membuka ruang untuk perubahan dengan kemudahan pendirian partai politik. Kedua, membuat Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memberi harapan perubahan, sehingga setiap partai politik ataupun gabungan partai politik berhak mengajukan calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Hal itu untuk mencegah politik uang dan politik dagang sapi dalam menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden seperti diamanatkan oleh Pasal 6 A ayat (2) UUD 45.
- Membentuk Komisi Pengawas Pemerintah Transisi yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang mewakili semua golongan dan daerah.
- Memperkuat peran Negara dalam menguasai sumberdaya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan cara melakukan pengambilalihan usaha pertambangan, perkebunan, dan hutan tanaman industri milik asing dan menata-ulang pengusahaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh swasta nasional. Di samping itu juga perlu dilakukan pengaturan lalu-lintas devisa dan pengaturan atas penempatan modal Indonesia di luar negeri.
- Menjalankan amanat konstitusi secara konsekuen dalam memberikan jaminan atas kebutuhan dasar warga-negara untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak [Pasal 27 ayat (2) UUD’45], untuk mendapat pelayanan kesehatan [Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD’45], dan untuk mendapat pendidikan termasuk pendidikan tinggi [Pasal 28 C ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD’45], serta hak warga negara untuk mendapatkan hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat [Pasal 28 H ayat (1) UUD 45].
- Membuat Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menempatkan Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai lembaga permanen dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menyediakan anggaran yang cukup untuk secara sistemik melakukan pemberantasan korupsi.
- Membentuk Badan Persiapan sebagai wadah mewujudkan transisi demokrasi untuk menegakkan kedaulatan rakyat secara damai yang dilaksanakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Menunda dan
menunggu bukan pilihan dan solusi, bahkan akan menyebabkan Indonesia menjadi negara
yang gagal.
Untuk
menindak-lanjuti manifesto politik ini, kami membentuk Gerakan Nasional Menegakkan Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial
yang disingkat dengan GERNAS (Gerakan
Nasional).
Jakarta, 12
Februari 2013
Penggagas,
Chris Siner Key
Timu
Yusuf AR
Awad
Bahasoan
Judilherry
Justam
Sukmadji Indro
Tjahjono
Sismulyanda
Barnas
Djamester
Simarmata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar